Pekerja Urban dan Isu-Isu Selingkarnya
Pekerja bisa menderita di mana saja. Tak hanya di kantor atau depan layar, masalah dan beban hidup menggentayangi mulai dari keluar kamar, di dalam gerbong KRL, di tempat makan siang, sampai di mal pada akhir pekan—itu pun kalau tidak lembur.
Pasalnya, masalah struktural pekerja tidak berdiri sendiri. Ia menjadi struktural karena isu-isunya berkelindan dengan berbagai isu lainnya dan menubuh dalam keseharian. Isu-isu ini umumnya berskala besar, bersifat mendasar, dan telah secara sistematis menjadi momok bagi hidup pekerja. Contoh yang paling dekat adalah mobilitas (transportasi) dan hunian. Setiap warga, baik yang bekerja maupun tidak, terutama yang beraktivitas di kawasan perkotaan, pasti lekat dengan kedua hal tersebut: ia perlu berpindah dari satu tempat ke tempat lain; dan ia membutuhkan tempat naungan untuk beristirahat.
“Kerja” tidak menjadi kata kunci utama dalam isu mobilitas dan hunian. Namun, kebanyakan pekerja perlu berpindah dari tempat tinggalnya menuju tempat kerja. Entah dengan motor pribadi atau bus kota, perjalanan berpindah ini tunduk pada sebuah sistem transportasi yang kompleks dengan permasalahannya tersendiri. Transportasi publik yang langganan ngaret atau harga bensin yang melonjak tentu berpengaruh pada aktivitas dan kondisi para pekerja. Lesung pipi rawan kendor bahkan sebelum sampai kantor.
Selain itu, agar dapat terus bekerja dari hari ke hari, tiap pekerja memerlukan tempat tinggal yang layak untuk mengistirahatkan tubuh rentanya. Tidur di rumah dengan atap bocor atau di kos sebelah bak sampah RW, misalnya, berpotensi membuahkan emosi negatif pada esok pagi. Jangankan semangat menyapa kolega, mendengar alarm jam beker saja sudah tak sabar baku hantam. Namun, nyatanya memiliki rumah bukan kenyataan yang mudah dihidupi oleh semua orang, terlebih pekerja lepas di industri media dan kreatif.
Berikut elaborasi singkat beberapa isu lain yang memengaruhi aspek produktif dan reproduktif para pekerja di kawasan perkotaan:
Kemacetan
Mengalami kemacetan setiap harinya berpotensi berdampak negatif terhadap kesehatan fisik dan mental pekerja, serta berpengaruh langsung terhadap waktu produktif dan modal kerja. Pada tahun 2015, indeks Castrol's Magnatec Stop-Start pernah mendaulat Jakarta sebagai kota dengan kemacetan terparah di dunia. Selain itu, berdasarkan data dari Tomtom, sebuah platform yang mengagregasi data lalu lintas dari berbagai sumber di seluruh dunia, Jakarta menempati peringkat ke-30 pada tahun 2023 jika dilihat dari rerata kecepatan yang dibutuhkan untuk menempuh 10 km.
Dari basis data yang sama juga, diketahui bahwa penglaju yang menempuh jarak 10 km setiap harinya ke pusat kota Jakarta akan kehilangan 225 jam waktu di jalan per tahun, 117 jam di antaranya akibat kemacetan. Selain itu, kemacetan juga meningkatkan konsumsi bahan bakar. Secara kasar, berkendara sejauh 10 km di jalan kosong pada pagi buta diperkirakan membutuhkan 0,66 liter, sedangkan pada jam ramai pukul 8 pagi dapat mencapai 0,84 liter, dan hingga 0,92 liter pada Jumat sore!
Oke, lalu apa artinya? Kalau kita coba analisis lucu-lucuan dari data tersebut, didapati bahwa: Jika kamu bekerja 9-to-5 dengan commute 10 km bolak-balik ke pusat Jakarta mengendarai mobil atau motor, maka kemungkinan kamu:
- akan kehilangan waktu sekitar 9 hari per tahun hanya untuk berkendara di jalan; dan
- perlu membelanjakan minimal setara 34,1% dari UMR Jakarta per bulan untuk isi cukup Pertalite.
Lalu kita bisa apa? Menurut Tomtom, menerapkan kebijakan kerja dari rumah (WFO) dapat membantu. Untuk Jakarta, WFO pada hari Selasa, Rabu, dan Jumat dapat menyelamatkan 136 jam hidupmu dari terjebak di jalan setiap tahunnya. Atau, kenapa tidak naik kendaraan umum saja? Lebih cepat dan murah. Sayangnya tidak semua lokasi rumah atau tempat kerja dapat dijangkau oleh transportasi publik. Jakarta saja, dengan sistem transportasi publik terlengkap, jangkauannya baru mencapai 82% pada tahun 2021 [The Future Is Public Transport, 2023]. Itu pun belum memperhitungan cakupan terhadap keseluruhan area metropolitan Jabodetabek.
Selain itu, transportasi publik di Jakarta, sebagai contoh lagi, kerap penuh sesak pada jam ramai (i.e. KRL dan Tije). Ditambah dengan desain infrastruktur yang belum sepenuhnya akomodatif, kondisi di atas berpotensi menyulitkan bagi beberapa kelompok seperti lansia, ibu hamil, orang tua dengan anak kecil, atau kelompok disabilitas. Bicara aspek ekonomi pun, kadang masih diperlukan perjalanan tambahan (first-mile dan last-mile) yang mesti ditempuh dengan jasa transportasi lain seperti ojol atau taksi.
Akibatnya, kendaraan pribadi, utamanya motor, menjadi pilihan yang jauh lebih efisien. Beberapa pertimbangannya adalah kemudahan dalam membawa barang, menyesuaikan rute (misal bagi yang perlu mengantar anak terlebih dahulu), bepergian bersama orang lain, atau cepat sampai tujuan (relatif terhadap transportasi publik yang berputar-putar). Namun, terlepas dari pilihan moda dan rutemu pergi kerja, ujungnya kita sampai pada pening yang sama.
Polusi Udara
Pekerja yang tinggal di wilayah-wilayah aglomerasi kerap merasakan perjalanan panjang menuju tempat kerja. Ini lantaran mahalnya harga beli dan sewa hunian di tengah kota. Di sisi lain, insentif yang lebih banyak diberikan ialah melalui subsidi transportasi umum penghubung antarkota dari pemerintah. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pekerja komuter di Indonesia mencapai mencapai 7,18 juta pada Februari 2023, bertambah 110 ribu orang dibandingkan Februari tahun sebelumnya.
Kendati demikian, transportasi publik antarkota memiliki berbagai kelemahan. Salah satunya adalah sifatnya yang kurang bisa diandalkan: kerap bermasalah dan sering kali datang terlambat. Kondisi inilah yang menyebabkan masyarakat beralih menggunakan transportasi pribadi yang acap menyebabkan polusi udara. Dalam paparannya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya menyebut sektor transportasi berkontribusi sebesar 44% dari penggunaan bahan bakar di Jakarta, diikuti industri energi 31%, manufaktur industri 10%, sektor perumahan 14%, dan komersial 1%.
Sementara, sektor penghasil emisi karbon monoksida (CO) terbesar, disebutkan disumbangkan sektor transportasi sebesar 96,36% atau 28.317 metrik ton per tahun, disusul pembangkit listrik 1,76% atau 5.252 metrik ton per tahun, dan industri 1,25% atau 3.738 metrik ton per tahun. Kota-kota besar di Indonesia masih menerapkan kebijakan yang car-centric dengan menetapkan desain dan infrastruktur perkotaan mengikuti kebutuhan kendaraan pribadi. Pola pembangunan seperti ini ditandai beberapa ciri, mulai dari perluasan dan pelebaran jalan yang terus menerus, perluasan ruang parkir, hingga dimudahkannya akses kendaraan pribadi.
Kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) juga menyebabkan berbagai persoalan. Hingga hari ini setidaknya terdapat 16 PLTU batubara yang berada di sekitar Jakarta. Sebanyak 10 PLTU terletak di Banten, sementara 6 lainnya berada di Jawa Barat. Ditemukan juga setidaknya 418 fasilitas industri manufaktur dalam radius 100 km di sekitar Jakarta. Dari angka itu, 136 di antaranya adalah sektor beremisi tinggi, seperti logam, baja, dan penyulingan kayu.
Tak ayal, Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara terburuk ke-12 di dunia. Per Senin (29/4) saja kualitas udara Daerah Khusus Jakarta dianggap berbahaya bagi kelompok sensitif dengan angka 122 mengacu penilaian PM 2,5 dengan konsentrasi 44 mikrogram per meter kubik. Konsentrasi sebanyak itu setara 8,8 kali nilai kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Data WHO menunjukkan paparan intensif terhadap polusi udara berpotensi menyebabkan berbagai penyakit mematikan, seperti stroke, serangan jantung iskemik, kanker paru-paru, pneumonia, hingga katarak. Dalam catatan yang sama disebutkan, paparan tingkat tinggi polusi yang terus menerus bisa menurunkan fungsi paru-paru, infeksi pernafasan, hingga perburukan kondisi asma.
Dalam konteks pekerja kota, paparan polusi Jakarta, bisa menurunkan tingkat kesehatan fisik pekerja secara gradual sehingga mempengaruhi produktivitas dan kualitas kerja. Di sisi lain, ada ongkos terhadap biaya kesehatan terselubung lantaran terjadinya penurunan kualitas fisik yang terus menerus menurun. Penurunan kualitas hidup, merupakan kondisi yang ditentang dalam prinsip Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Prinsip ini mengupayakan menciptakan lingkungan hidup yang aman dan sehat sehingga mengurangi potensi kecelakaan atau penyakit akibat kerja.
Akses Hunian Layak
Dalam konferensi wilayah SINDIKASI Jabodetabek, terlaksana sebuah diskusi terpumpun perihal ruang hidup pekerja. Diketahui, pekerja SINDIKASI Wilayah Jabodetabek kerap dihadapkan dilema untuk memilih lelah komuting dalam jangka waktu panjang atau harus membayar lebih untuk mendapatkan tempat tinggal di sekitar lingkungan kerja. Mereka mengalami dilema, apakah harus irit waktu dengan membayar kos atau irit biaya dengan komuting jarak jauh. Pekerja yang memilih untuk mencari tempat tinggal di sekitar kantor harus terpaksa menambah biaya hidup karena rumahnya berjarak 3 jam perjalanan.
Tempat tinggal di area kantor yang dapat diakses pun banyak yang tidak memadai seperti tidak ada jendela. Ditambah lagi, mereka harus menambahkan berbagai perkakas rumah tangga dan biaya makan. Sebagai contoh, Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan biaya hidup per rumah tangga di Jakarta mencapai 14,88 juta rupiah, Bekasi mengikuti di urutan kedua dengan 14,34 juta rupiah, dan Surabaya di urutan ketiga dengan 13,36 juta rupiah per bulan. Di sisi lain, tidak ada data resmi mengenai biaya sewa hunian bulanan di Jakarta sehingga sulit memahami beban biaya ekonomi yang dialami pekerja yang memutuskan menyewa kos.
Salah satu peta harga lahan (xproperti.com) menunjukkan bahwa lokasi-lokasi di pusat kota rata-rata bernilai di atas Rp 30 juta per meter perseginya. Sedikit keluar dari pusat kota, harganya masih berkisar antara Rp15–20 juta rupiah/m2. Standar minimal kebutuhan ruang per orang adalah 7,2 m2/jiwa, untuk memenuhi itu pusat kota Jakarta, pekerja dengan UMR Jakarta perlu menabung setengah pendapatannya setiap bulan selama lebih dari 7 tahun untuk bisa membelinya. Itu pun hanya petak tanah, belum ada bangunan dan isinya.
Kondisi mahalnya hunian ini terus diperparah seiring berjalannya pembangunan kota. Beberapa pembangunan memiliki potensi untuk mengakibatkan gentrifikasi—sederhananya, meningkatnya nilai ekonomis dari suatu kawasan karena munculnya bangunan bernilai tinggi (kafe, stasiun, taman kota, dsb.). Beberapa contohnya adalah pembangunan halte MRT Blok A di Jakarta yang menaikkan harga kos di sekitarnya. Atau, pengembangan M Bloc yang menjadi pemantik pembangunan ruang-ruang di sekitarnya, yang berakibat pada menjamurnya kedai dan restoran-restoran baru. Dalam kasus ini, diperlukan kehati-hatian dalam mewujudkan hunian berbasis TOD (transit-oriented development). Alih-alih punya tempat tinggal dekat stasiun, yang ada justru tidak lagi bisa bayar kos.
Pekerja yang kemudian memilih untuk melakukan komuting jarak jauh harus berhadapan dengan kondisi jalan yang gelap dan berbahaya karena mereka pulang saat larut malam. Selain itu, biaya stres perjalanan pun bisa menjadi lebih besar jika mereka harus melakukan komuting walau sebagian dari mereka sudah terbantu oleh posisi kantor yang dekat dengan shelter Transjakarta. Oleh karena itu, kedua pilihan tersebut sebenarnya memiliki permasalahan masing-masing. Dari permasalahan tersebut, aspek reproduktif pun tidak dapat diremehkan. Keberadaan aspek tersebut akan mengganggu kesehatan mental dan fisik pekerja.
Ruang Publik
Ruang publik bisa dipahami sebagai fasilitas, area, atau tempat yang bisa digunakan masyarakat secara bebas. Ruang publik memiliki fungsi beragam, seperti taman untuk perawatan mental dan fisik, serta berkomunitas, halte dan stasiun untuk kemudahan mobilitas, perpustakaan dan ruang komunitas sebagai akses rekreasi dan mencari pengetahuan, hingga tempat ibadah untuk kebutuhan rohani dan komunitas. Pekerja mengandalkan ruang publik untuk mengurangi ongkos yang keluar dikarenakan berbagai kebutuhan, mulai dari mencari pengetahuan, rekreasi, hingga meningkatkan keterampilan melalui komunitas.
Sebaliknya, keberadaan ruang publik yang buruk berdampak pada banyak aspek. Ruang publik yang kotor, kurang penerangan, dan bising berpotensi memperburuk kesehatan mental pekerja, meningkatkan risiko tindak kriminalitas, hingga menurunkan kreativitas dan inovasi pekerja. Kondisi seperti ini menimbulkan beban berganda terhadap pekerja, khususnya di kota-kota besar, yang telah terbeban oleh iklim industrial yang tinggi melalui jam kerja panjang dan komunikasi kerja yang intensif. Dalam banyak konteks, tidak semua ruang publik di kota-kota besar juga mengakomodir hak-hak maternitas. Sebagai contoh, sangat jarang ditemukan stasiun yang memiliki ruang laktasi, banyak taman yang belum menerapkan kebijakan tanpa rokok, hingga belum diakomodirnya kehadiran daycare bersubsidi oleh pemerintah.
Di sisi lain, ruang-ruang publik yang kerap ditemui di kota seperti Jakarta juga belum menempatkan ruang publik sebagai tempat beristirahat. Ambil contoh, adanya keterbatasan jumlah kursi duduk di banyak stasiun dan halte yang menjadi tulang punggung pekerja melakukan mobilitas. Serupa dengan itu, taman-taman kota juga tidak menyediakan banyak tempat duduk dan untuk melakukan rekreasi masyarakat perlu membawa tikar dan mengurus kebersihan sendiri. Ruang publik yang nyaman dan mengakomodir kebutuhan pekerja seharusnya mampu berdampak ganda terhadap kesehatan dan produktivitas pekerja. Sayangnya, belum banyak temuan atau penelitian yang menjelaskan pentingnya relasi ruang publik dengan kesejahteraan pekerja.
Contoh di atas sayangnya baru banyak membicarakan mengenai Jakarta. Namun, setiap kota memiliki dinamika tersendiri yang memengaruhi keseharian pekerjanya dengan cara berbeda-beda. Dampak aneka ragam isu struktural tersebut tercermin dalam tuntutan pekerja media dan industri kreatif dari lima kota sebagai berikut:
Jabodetabek
- Sediakan hunian layak dan murah untuk semua pekerja.
- Wujudkan udara bersih, hentikan polusi.
- Wujudkan ruang publik dan dunia kerja aman dan bebas kekerasan seksual, ratifikasi Konvensi ILO 190.
- Penuhi semua hak ibu, sediakan daycare gratis dan ruang menyusui layak di tempat kerja.
- Lawan jam kerja panjang, hukum pemberi kerja pencuri upah.
- Wujudkan transportasi umum yang aman, andal, dan bebas pelecehan.
- Bantu sandwich generation, sediakan tunjangan pensiun universal bagi manula dan pensiunan.
- Hapus diskriminasi umur dalam dunia kerja.
- Lindungi pekerja lepas dan atur hukum upah layak.
Bandung
- Hapuskan batas usia dalam rekrutmen kerja.
- Tolak upah murah, hapuskan pemagangan.
- Sertakan kontrak kerja adil untuk kerja layak.
- Berikan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja untuk seluruh pekerja.
- Hentikan pelecehan dan diskriminasi di tempat kerja.
- Hentikan pelarangan berserikat dan pemberangusan serikat.
- Naikkan upah pekerja untuk taraf hidup layak.
- Hunian layak untuk rakyat.
Yogyakarta
- Naikkan upah minimum Yogyakarta 15% dan turunkan harga bahan pokok.
- Perbaiki dan bangun sistem transportasi publik yang bisa diandalkan, terjangkau, dan mudah diakses pekerja di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.
- Jamin perumahan layak dan terjangkau bagi pekerja.
- Ciptakan kesempatan kerja dan akses yang memadai bagi pekerja difabel.
- Terapkan perlindungan kerja dan aturan yang tidak mendiskriminasi pekerja ragam gender.
Surabaya
- Lindungi dan akui secara hukum pekerja lepas.
- Tolak diskriminasi ras dan SARA di lingkungan kerja.
- Akui kerja-kerja reproduktif penopang kelas pekerja.
- Hukum perusahaan yang tak membayar sesuai UMK.
- Lindungi hak-hak pekerja untuk berserikat, tolak union busting di tempat kerja.
- Entas dan hilangkan kondisi yang merentankan kelas pekerja.
- Tuntut program rumah murah untuk kelas pekerja.
- Benahi akses dan mobilitas yang murah untuk kelas pekerja.
- Naikkan taraf hidup layak untuk kelas pekerja.
- Jamin dan lindungi keselamatan kerja kelas pekerja di sektor kognitif, kreatif, dan budaya.
- Tolak bentuk-bentuk kasualisasi pekerjaan yang merentankan kelas pekerja.
Makassar
- Perlindungan hak normatif pekerja lepas.
- Upah layak untuk semua.
- Jaminan sosial dan kesehatan pekerja lepas.
- Dunia kerja yang aman dan nyaman bagi semua pekerja dari beragam gender dan orientasi seksual.
Untuk memahami modul Masalah Struktural Pekerja dengan lebih utuh, sila membaca dua artikel berikut:

