Melawan Kekerasan Berbasis Gender

Peringatan Hari Perempuan Internasional 2024 di Jakarta.
Hari Perempuan Internasional (IWD) mengukir sejarah kemenangan buruh perempuan. Upah layak, 8 jam kerja, dan berbagai hal yang kita nikmati saat ini adalah hasil perjuangan buruh perempuan. Berbagai organisasi perempuan menggunakannya sebagai momen untuk menyoroti isu-isu seperti kekerasan terhadap perempuan, kesetaraan gender, dan hak-hak buruh. Namun, masih banyak situasi kerja yang harus diperbaiki bersama. Perempuan, ragam gender, dan disabilitas masih rentan mengalami kekerasan berbasis gender di lingkungan kerja.
Kekerasan di Dunia Kerja
Riset SINDIKASI (2024) yang berjudul “Kekerasan Seksual Terjadi di Kalangan Pekerja Industri Media dan Kreatif, Mari Mengajak Semua Pihak Berani Bicara” menemukan angka kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja terbilang tinggi. Sebanyak 29,03% responden pernah memiliki pengalaman langsung atas kasus-kasus pelecehan dan kekerasan di dunia kerja. Ada 37,63% responden pernah mendengar adanya kasus pelecehan dan kekerasan di dunia kerja. Sementara itu, 62,8% dari keseluruhan kasus terjadi di lingkungan kerja. Hotel, kafe/restoran, tempat klien, rumah, area publik, dan lokasi lainnya juga menjadi tempat umum di mana kasus serupa terjadi.
Meskipun demikian, hanya sekitar 32% dari individu yang menjadi korban melaporkan kejadian tersebut. Dari jumlah itu, 46% melaporkan kepada atasan atau supervisor mereka, sementara 24% melaporkan kepada rekan kerja, dan sebagian kecil lainnya melaporkan kepada psikolog, satuan tugas internal, atau lembaga eksternal seperti polisi dan komisi perlindungan hak asasi manusia. Selanjutnya, hanya sekitar 10,75% responden yang menjadi saksi adanya kasus pelecehan dan kekerasan di dunia kerja, sedangkan yang tidak pernah mengalami satupun sebanyak 22,58%.
Banyak korban kekerasan dan pelecehan di dunia kerja enggan melapor. Ada yang tak yakin kasus akan diproses dengan perspektif korban, ada pula yang khawatir kariernya terdampak.
Penelitian tersebut menunjukkan pentingnya meningkatkan kesadaran akan kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja, terutama di bidang media dan industri kreatif. Oleh sebab itu, pendidikan kekerasan berbasis gender harus diberikan ke seluruh anggota tim kerja, termasuk pimpinan, pekerja, dan pihak terkait lainnya seperti klien dan narasumber.
Penelitian juga menggarisbawahi pentingnya pekerja untuk berani berbicara tentang kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja. Hal ini dapat menciptakan lingkungan di mana korban merasa didukung untuk melaporkan kasus-kasus tersebut. Terakhir, pengelola tempat kerja harus didorong untuk membuat aturan yang jelas dan tegas mengenai kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja.
Lingkar Patriarki Dunia Media
Laki-laki cishetero yang mendominasi ruang redaksi kerap abai pada keberagaman gender, hal ini berdampak pada suasana kerja hingga produk jurnalistik yang maskulin. Akar dari masalah ini dapat dibedah setidaknya melalui tiga poin berikut:
- Pendidikan
Meski umumnya media massa tak mewajibkan kandidat jurnalis berlatar pendidikan Ilmu Jurnalistik atau komunikasi namun, riset Remotivi yang bertajuk “Mengapa Ada Banyak Mahasiswi Jurnalistik tetapi Sedikit Jurnalis Perempuan?” dapat menjawab sedikitnya kehadiran jurnalis perempuan di media.
Dalam riset tersebut, mahasiswi Ilmu Jurnalistik terpaksa menginternalisasi stigma laten bahwa perempuan tidak kompeten meliput hard news – karena dianggap kurang rasional, fisik lemah, hingga mengalami kekerasan seksual saat magang. Sederet pengalaman buruk tersebut membentuk persepsi hingga rasa percaya diri yang perlahan pudar setelah lulus kuliah; tak lagi bermimpi menjadi jurnalis.
- Redaksi
Jika seorang perempuan akhirnya berhasil menerobos masuk ke dalam ruang redaksi, maka kenyataan pahit lainnya adalah intaian kekerasan seksual. Jumlah yang timpang antara laki-laki dan perempuan serta minimnya perspektif gender tak dimungkiri berdampak pada keamanan kerja perempuan, apalagi minoritas gender dan penyandang disabilitas.
Lingkungan kerja yang maskulin tersebut kerap menormalisasi bentuk-bentuk kekerasan seksual. Hingga saat ini, setidaknya tercatat baru 4 media massa yang memiliki SOP Pencegahan dan Penanganan Seksual: Project Multatuli, Magdalene, Konde, dan Tirto. Merespons darurat kekerasan seksual di ruang redaksi, AJI Indonesia mendesak Dewan Pers untuk membuat regulasi himbauan penerapan SOP di seluruh redaksi media. Pada awal Juni 2024, akhirnya SOP tersebut terbit untuk kemudian disosialisasikan kepada seluruh media massa di Indonesia.
- Produk Jurnalistik
Produk jurnalistik yang buruk (yellow journalism) adalah cermin paling vulgar yang menunjukan betapa bobroknya perspektif awak media di baliknya. Berita sensasional yang gemar mengobjektifikasi perempuan dan kelompok rentan hingga menyalahkan korban kekerasan seksual masih menjadi ciri produk jurnalistik Indonesia. Minimnya pelatihan jurnalistik berperspektif gender, menjadi salah satu alasan mengapa hingga kini produk jurnalistik masih berkutat dalam lingkaran setan kekerasan.
Industri Kreatif Rawan Kekerasan
Pekerja kreatif banyak bekerja dalam relasi kerja yang samar. Tidak adanya perjanjian tertulis membuat durasi, cakupan, dan remunerasi tidak jelas. Seringkali, mereka bekerja dengan teman di lingkup komunitas. Tidak sedikit yang menjadikan reputasi di komunitas penentu jenjang karir ke depan. Dengan situasi semacam ini, pekerja kreatif mungkin memiliki situasi yang lebih rumit dibanding pekerja media. Setidaknya ada empat poin yang dapat memberikan gambaran tentang kerentanan pekerja industri kreatif.
- Relasi Kuasa
Industri kreatif yang umumnya berwatak non formal kerap menjebak pekerjanya dalam situasi rumit: sungkan melaporkan kasus kekerasan seksual atas nama menjaga pertemanan dan komunitas. Dalam banyak kasus, korban sulit melapor karena takut diancam pelaku yang juga pemilik perusahaan atau komunitas. Relasi kuasa yang timpang dalam situasi ini berdampak pada diamnya korban yang mengalami trauma sekaligus potensi kehilangan pekerjaan dan pertemanan.
- Rawan Modus
Pertemanan yang karib dalam industri kreatif acapkali dimanfaatkan pelaku untuk melancarkan modus kekerasan seksual. Dalam banyak kasus, pelaku yang umumnya diidolakan atau dianggap senior sengaja menggunakan statusnya untuk memaksa korban memenuhi keinginannya.
- Titik Buta Pembuat Kebijakan
Meski digadang-gadang sebagai penopang ekonomi terbesar di Indonesia, industri kreatif masih menjadi titik buta bagi pembuat kebijakan. Belum ada perlindungan terhadap pekerja kreatif dan seni yang secara eksplisit tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Hak pelaku seni dan kreatif sebagai pekerja luput diidentifikasi dalam UU Pemajuan Kebudayaan, UU Ekonomi Kreatif, apalagi dalam UU Cipta Kerja.
Dalam isu kekerasan berbasis gender, Kepmenaker 88/2023, sebagai peraturan turunan UU TPKS di tempat kerja, punya bias terhadap tempat kerja fisik sehingga belum mengakomodasi pola kerja kreatif yang khas, misalnya, yang hanya dilakukan via daring. Alur pertanggungjawaban yang kaku juga sulit dijadikan acuan bagi kerja-kerja yang dilakukan di lingkup komunitas yang mungkin tidak memiliki sistem pendukung yang memadai.
Kaburnya relasi kerja dan sikap-sikap bias gender yang berlaku luas dan dinormalisasi dalam sektor seni yang patriarkis membuat kondisi kerja pekerja seni perempuan, baik cis maupun trans, rentan. Menurut penelitian Koalisi Seni Merawat Seni (2021), 25% dari responden mengalami kekerasan selama setahun terakhir. Penelitian tersebut juga menggarisbawahi diskriminasi berbasis misogini dan transfobia yang masih dialami pekerja perempuan.
Dengan keterbatasan kebijakan dari negara, jalan pendek yang dapat diambil untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan berbasis gender dalam kerja adalah mendorong adanya SOP Anti Kekerasan Seksual serta meningkatkan pendidikan gender di tingkat lembaga. Dengan SOP yang dibuat sesuai kebutuhan dan kapasitas lembaga, diharapkan pihak yang bekerja di dalam dan dengan lembaga tersebut mendapat perlindungan optimal walaupun sifat kerjanya mungkin informal.
- Ruang Kerja yang Hostile
Pekerja kreatif yang seringkali tak memiliki ruang kerja tetap dengan standar keamanan tertentu membuat kerentanan semakin berlipat. Ruang privat dan publik lebur jadi satu, hal ini membuat pelaku kian mudah menyamarkan modus dan bukti kekerasan seksual.
Dalam beberapa kasus, korban mengalami kekerasan di ruang privat yang sekaligus digunakan sebagai ruang kerja. Pelaku dengan mudah berdalih, korbanlah yang memintanya datang alias relasi suka sama suka. Sementara dalam definisi formal, ruang kerja adalah kantor konvensional yang terikat jam kerja office hour, hal ini membuat lingkup kerja yang “tak ideal” tidak dianggap urusan ketenagakerjaan.
Komitmen Menciptakan Ruang Aman
Divisi Gender SINDIKASI dibentuk pada 2021 sebagai implementasi dari mandat Tim Independen Pencari Fakta (TIPF) atas kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan mantan anggota SINDIKASI. Untuk memastikan bahwa inklusivitas menjadi napas dari kerja-kerja serikat, selain divisi gender, SINDIKASI turut mengubah AD ART, membuat Pakta Integritas Anti Kekerasan Seksual, Satuan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual hingga hotline aduan.
Kejadian dugaan kekerasan seksual membuat SINDIKASI mawas diri untuk berbenah, agar serikat dan seluruh anggota di dalamnya merasa aman. Dalam kerjanya, Divisi Gender memiliki fungsi pengarusutamaan kesetaraan gender dan inklusi sosial serta mengawal penanganan dan pencegahan kasus kekerasan berbasis gender yang melibatkan anggota SINDIKASI. Untuk mempelajari kasus tersebut, silakan membaca siaran pers di sini.
Dengan komitmen untuk menghapuskan diskriminasi (zero discrimination), SINDIKASI berupaya menciptakan ruang yang aman dan egaliter bagi seluruh pekerja media dan industri kreatif, tanpa memandang latar belakang individu. Hal ini diharapkan dapat memberikan akses dan peluang yang sama bagi kelompok minoritas untuk terlibat dalam proses diskusi dan pengambilan keputusan. Selain itu, berbekal pengalaman dalam menangani kasus dugaan kekerasan seksual serta berbagai riset mandiri maupun kolaborasi dengan organisasi atau lembaga lain, SINDIKASI semakin memperkuat komitmennya untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Komitmen tersebut tercermin dalam produk kebijakan berikut:
Pakta Integritas Anti KS: Seluruh calon dan anggota SINDIKASI wajib mengisi pakta ini untuk menunjukan komitmen untuk memerangi kekerasan seksual di dalam maupun di luar serikat.
Pendidikan Gender: Sejak 2021, Divisi Gender dan Inklusi Sosial berkomitmen untuk menghadirkan pendidikan gender dalam Orientasi Dasar Calon Anggota maupun pendidikan gender lanjutan. Pendidikan menjadi bagian dari aksi pencegahan kekerasan seksual yang meningkatkan kepekaan anggota terhadap keberagaman gender.
AD/ART + SOP Penanganan KS: Pada kepengurusan periode 2, SINDIKASI resmi memasukan divisi gender, pakta integritas, majelis etik, dan SOP Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual dalam struktur AD/ART. Dengan demikian, seluruh anggota tanpa terkecuali wajib menaati kebijakan ini.
Divisi Gender dan Inklusi Sosial: Terdiri dari tiga orang dengan komposisi perempuan cishetero dan queer – tidak ada laki-laki cishetero untuk memastikan keterwakilan kelompok minoritas. Mengawal Satuan Gugus Tugas Penanganan Kekerasan Seksual dan Hotline Aduan, melakukan riset, dan berjejaring dalam isu perempuan, queer, dan disabilitas.
Asesmen Gender & Inklusi Sosial: Pada 2021, Divisi Gender dan Inklusi Sosial meluncurkan riset berjudul “Asesmen Gender dan Inklusi Sosial terhadap SINDIKASI” untuk membongkar sejauh mana wawasan dan perilaku pengurus SINDIKASI periode 1 dan 2 terhadap keberagaman gender dan isu interseksionalitas.
Jejaring Serikat Buruh, LSM, dll: Divisi Gender dan Inklusi Sosial dan kawan-kawan SINDIKASI lainnya tergabung dalam Koalisi Stop Kekerasan di Dunia Kerja, Gerak Perempuan, Gebrak, JMS, dan gerakan lainnya yang berperspektif gender dan interseksional.
Kerja-kerja Riset: Di antaranya Asesmen Gender dan Inklusi Sosial terhadap SINDIKASI (2021) dan Kerentanan Pekerja Queer dan Disabilitas dalam Industri Media dan Kreatif (2024-2025).
Menempatkan Identitas Pekerja dalam Perspektif Interseksionalitas
SINDIKASI memahami bahwa setiap individu tidak mengalami represi yang sama. Identitas seseorang ditentukan oleh banyak dimensi di antaranya gender, kelas, ras, dan kondisi lainnya seperti disabilitas. Penggunaan terminologi interseksionalitas diperkenalkan oleh Kimberle Crenshaw di tahun 1989. Interseksionalitas merupakan sebuah kerangka berpikir dimana pemahaman identitas yang multi dimensi dapat membantu melihat lapis represi yang dialami oleh seseorang.

Keterangan:
- Ableism: Disabilitas dipaksa bekerja dengan standar non disabilitas.
- Mansplaining: Ruang kerja yang membungkam suara kelompok minoritas.
- Ketimpangan Upah: Upah perempuan lebih rendah daripada upah laki-laki.
- Ageism: Kultur perundungan berbasis usia.
- Bro Culture: Kultur kerja maskulin.
- Beban Ganda: Perempuan hamil/memiliki anak rentan dibebani kerja profesional dan domestik.
- Larangan Berserikat: Berserikat dianggap melawan perusahaan, karena itu sering dilarang meski tak tertulis dalam kontrak kerja.
- Normalisasi Pelecehan & Kekerasan Seksual: Belum tumbuhnya perspektif gender dan interseksionalitas dalam dunia kerja membuat minoritas gender dan disabilitas rentan dilecehkan.
- Eksploitasi melalui Fleksibilitas: Jam kerja gak waras, gaji terbatas.
- Sulit Cuti Haid: Minimnya perusahaan yang mengakui cuti haid (max 2 hari kerja). Hal ini diperparah dengan UU Ciptaker yang berprinsip “No work, No pay”.
- Standar Kecantikan: Syarat kerja yang acapkali menjegal perempuan di dunia kerja.
- Minim Fasilitas Ramah Perempuan: Minim ruang laktasi dan day care untuk ibu pekerja.
- Victim Blaming: Dalam kasus kekerasan seksual di dunia kerja, perusahaan umumnya tak punya SOP sehingga menyalahkan korban dan memecat pelaku.
- Minimnya aksesibilitas: Alat kerja yang tidak ramah untuk penyandang disabilitas fisik (toilet, komputer, hp, tangga, dll) dan nihil toleransi jam kerja untuk penyandang disabilitas mental.
Simak liputan Underreported episode "Kerentanan Berlapis Jurnalis Disabilitas Jadi Korban KBGO" yang menceritakan kisah Cheta Nilawati, jurnalis perempuan penyandang disabilitas netra yang menjadi korban kekerasan berbasis gender online (KBGO) saat meliput berita tentang UU Ciptaker pada 2020 lalu.