5 min read

Masalah Struktural Pekerja

Ilustrasi pekerja bungkuk, wajah tenggelam di laptop, punggung tertancap balok hitam seperti beban.

Apakah kamu ikut merayakan pergerakan bersama SINDIKASI pada Hari Buruh Internasional kemarin?

Peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) menjadi momen penting untuk merefleksikan masalah struktural yang dihadapi kelas pekerja saat ini. Dalam konteks Indonesia, alih-alih mewujudkan kerja layak, negara justru memilih memperdalam kerentanan pekerja media dan industri kreatif dengan melahirkan Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang terbukti merugikan kelas pekerja.

Situasi Pekerja Media dan Industri Kreatif

Pengesahan UU Ciptaker melegitimasi flexploitation (berasal dari kata fleksibilitas dan eksploitasi) yang memperdalam dimensi kerentanan pekerja. Penelitian yang dilakukan oleh SINDIKASI pada tahun 2021 menunjukkan fleksibilitas (waktu dan tempat) yang dialami pekerja industri kreatif kian meningkatkan kerentanan mereka dengan jam kerja yang panjang, lingkungan kerja yang tidak sehat, ketidakpastian dalam jaminan sosial dan perlindungan sosial, serta upah yang tidak memadai. 

Persoalan upah murah memang selalu hangat di kalangan pekerja lepas. Misalnya saja, sepanjang 2018-2019, rata-rata upah pekerja sektor ekonomi kreatif selalu lebih rendah dari rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP). Pada 2021, hanya pada subsektor tertentu yang memiliki rata-rata upah di atas UMP (i.e. arsitektur; pengembang aplikasi dan gim; periklanan; film, animasi, dan video; televisi dan radio; desain; dan penerbitan). 

Lebih dari upah murah, kesulitan keuangan adalah realita sehari-hari pekerja lepas yang tidak memiliki kepastian kerja. Pada survei yang dilakukan SINDIKASI (2021), sebanyak 74,7% responden mengaku penghasilan mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian, 63,2% responden memiliki uang hanya untuk hidup selama dua pekan, 46,8% responden tidak memiliki dana darurat, dan 44,7% memiliki utang atau pinjaman yang belum lunas. 

Selengkapnya riset kerja layak dapat diunduh di sini

SINDIKASI juga menemukan adanya pola wage theft (pencurian upah) atau tidak dibayarnya upah sesuai perjanjian awal pada pemberi kerja terhadap pekerja lepas. Bentuknya antara lain keterlambatan pembayaran upah, nominal upah yang dibayarkan berkurang, atau tidak dilakukan pembayaran upah sama sekali. Temuan ini selalu muncul dalam berbagai riset yang SINDIKASI lakukan.

Ironisnya, dalam keadaan rentan tersebut, pekerja lepas harus membiayai ongkos-ongkos tersembunyi (hidden cost) yang kerap kali tidak dihitung atau difasilitasi oleh pemberi kerja dalam proyek-proyek yang mereka kerjakan. Berdasarkan survei terbaru SINDIKASI (2024) terhadap 55 pekerja lepas industri media dan kreatif di 11 provinsi, ditemukan bahwa pekerja lepas kerap kali harus memfasilitasi kebutuhan kerja mereka secara mandiri. Contohnya antara lain:

  • Alat produksi: Pekerja lepas pada industri kreatif dan media memiliki kekhasan penggunaan alat kerja, utamanya laptop, handphone, ataupun kamera. Alat-alat kerja pekerja lepas ini cenderung dibeli atau dibiayai oleh mereka sendiri, misalnya kendaraan (96,4%) dan alat gambar manual (92,3%). Dari perhitungan yang dilakukan oleh SINDIKASI, rata-rata total kebutuhan alat kerja utama responden survei berkisar pada Rp1.729.634,00. Ini belum termasuk rata-rata kebutuhan alat kerja tambahan sekitar Rp632.619,05 per bulannya yang dapat mencakup sewa ruang kerja, buku, atau langganan media berita.
  • Perlindungan risiko kecelakaan pekerja dan jaminan sosial: Sekitar 70,9% responden menyatakan pemberi kerja mereka tidak menanggung risiko kecelakaan kerja dan penyakit okupasi (i.e. penyakit yang disebabkan atau diperparah kondisi lingkungan kerja, seperti penyakit paru-paru akibat debu atau gangguan pendengaran akibat kebisingan). Hanya 23,6% responden saja yang terlindungi asuransi swasta, dan lebih dari setengah responden mengaku tidak menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Temuan ini serupa dengan riset-riset terbitan SINDIKASI terdahulu (Aini dkk., 2019; Izzati, 2021; Liem dkk., 2022) yang menunjukkan ketiadaan asuransi dan jaminan sosial mereka.
  • Fasilitas komunikasi: Mayoritas responden tidak memiliki fasilitas alat komunikasi dari perusahaan atau pemberi kerja. Hanya 9% dari seluruh responden yang memiliki fasilitas komunikasi seperti handphone dari pemberi kerja, sementara sisanya menggunakan milik pribadi. Kebutuhan komunikasi bagi pekerja media dan kreatif pun relatif tinggi, misalnya untuk berlangganan platform Zoom atau kuota untuk menelepon klien. Namun, hanya sekitar 31% responden yang menyatakan didanai pemberi kerja untuk membiayai kebutuhan komunikasinya, itu pun masih dinilai tidak cukup oleh sebagian besarnya.

Biaya-biaya tersembunyi ini, selain upah yang rendah dan praktik wage theft, kian menambah beban pekerja lepas. Pekerja tetap dan yang berkantor tentu memiliki peluang lebih besar untuk difasilitasi kebutuhan kerjanya oleh pemberi kerja—meski bisa jadi sama rentannya. Maka, untuk bisa mengupayakan penghidupan yang baik, rasanya pekerja lepas mesti bisa menakar kelayakan nilai upahnya sendiri. Lantas, sudah layakkah upahmu? Coba hitung di sini:


Untuk memahami modul Masalah Struktural Pekerja dengan lebih utuh, sila membaca dua artikel berikut:

Studi Kasus: Pekerja Film
Selamat datang di Diksarser🎶 alias Pendidikan Dasar Serikat🪇 Jangan lupa baca panduannya dulu sebelum berselancar ke dalam materi-materi yang tersedia di platform ini ☝️👀🖤
Pekerja Urban dan Isu-Isu Selingkarnya
Selamat datang di Diksarser🎶 alias Pendidikan Dasar Serikat🪇 Jangan lupa baca panduannya dulu sebelum berselancar ke dalam materi-materi yang tersedia di platform ini ☝️👀🖤

Upaya Kolektif Serikat Pekerja

Bagi mayoritas pekerja media dan industri kreatif Indonesia, serikat pekerja dan hak berunding kolektif masih menjadi hal yang baru untuk mereka, meskipun SINDIKASI mulai melihat ada perubahan persepsi terhadap isu kelas pekerja dalam beberapa tahun terakhir berkat kampanye dan inovasi pengorganisasian yang dilakukan terus menerus.

Hukum perburuhan dan regulasi serikat pekerja di Indonesia yang bias industri konvensional dan formal masih menghambat pekerja lepas untuk berserikat dan menggunakan hak berundingnya secara legal, sehingga SINDIKASI harus melakukan improvisasi taktik melampaui aturan hukum supaya dapat memenangkan kepentingan pekerja lepas.

Dengan semakin meningkatnya aktivitas advokasi, SINDIKASI akan semakin sering menghadapi hambatan legal formal di masa depan sehingga perlu ada upaya sistematis agar  negara dapat mengakui hak berserikat dan berunding kolektif bagi pekerja media dan industri kreatif.

Jangan hadapi sendiri, ceritakan masalah ketenagakerjaanmu ke SINDIKASI:


Materi ini akan senantiasa dikembangkan merespon kebutuhan calon anggota. Jangan ragu untuk menghubungi kami melalui surel [email protected] (sertakan subjek: Diksarser) apabila kamu memiliki pertanyaan lebih lanjut atau masukan untuk perbaikan.